Aria Dhika Rayendra - Menaiki Bromo
Aria Dhika Rayendra XI IPS-3
Pada tanggal 22 sampai 27 Januari 2018, angkatan Heksadraga SMA
Labschool Kebayoran pergi ke Jawa Timur untuk melaksanakan Studi Lapangan. Pengalaman
paling berkesan pada saat Studi Lapangan adalah pada hari keempat di hari
Kamis, 25 Januari 2018 di Taman Nasional Bromo-Tengger Semeru, terutama pada
saat mendaki Gunung Bromo. Jeep sampai di parkiran kendaraan yang jaraknya
lumayan jauh dari Gunung Bromo jika berjalan kaki. Ada banyak Jeep yang
terparkir disitu dan juga ada warung yang menjual minuman dan makanan. Ada
banyak yang menyewakan kudanya yang akan membawa ke tangga Gunung Bromo dari
daerah parkir kendaraan tetapi biaya yang dibutuhkan untuk menyewakan kuda
pulang-pergi adalah Rp. 150,000 sehingga saya memilih untuk jalan kaki menuju
kawah dari posisi parkir Jeep. Dari posisi parkir Jeep, Gunung Bromo tertutup
kabut tetapi pura dan Gunung Batok terlihat lumayan jelas. Saat berjalan
terlihat ada banyak yang memilih menaiki kuda seperi Kenzi dan Naufal Afif. Ada
juga beberapa yang memilih untuk berjalan seperti Arsyad dan Eldi.
Ketika berjalan, saya mengambil
kamera FujiFilm saya dari tas dan mulai memotret dan merekam pemandangan yang
ada seperti Pura, kuda dan Gunung Batok. Angin yang kencang membuat udara
terasa sangat dingin dan adanya kabut yang sangat tebal membuat kacamata saya
tertutup embun sehingga saya terpaksa untuk mengusap kacamata saya beberapa
menit sekali meskipun saya tahu itu akan membaret kacamata saya. Mendekati
Gunung Bromo, terdapat tanda larangan mendekati kawah Gunung Bromo “PERHATIAN,
SAAT INI STATUS GUNUNG BROMO WASPADA, PENGUNJUNG DILARANG MENDAKI PUNCAK BROMO
RADIUS AMAN 1KM DARI KAWAH, Dimohon Untuk Mengikuti Arahan Petugas” tertulis di
tanda tersebut. Pertanyaan saya: Di manakah petugasnya? Saya memilih untuk
melanjutkan ke kawah. Mendekati gunung, jalan semakin sempit, semakin menanjak
dan kotoran kuda juga semakin banyak sehingga saya harus berhati-hati supaya
tidak menginjak kotoran kuda tersebut yang semakin banyak.
Mendekati gunung, jalanan mulai menanjak dan membuat saya semakin letih
sehingga saya berjalan pelan dan sekali-sekali berhenti untuk menarik nafas.
Pemandangan semakin baik sehingga saya selalu memegang kamera di tangan kanan
saya. Jalanan juga semakin sempit sehingga harus berjalan berdekatan dengan
para kuda. Mencapai dasar tangga, ada banyak kuda yang menunggu penumpangnya
untuk turun dari bibir kawah Bromo dan ada beberapa warung yang menyajikan teh
dan mi instan. Angin pun sangat kencang sehingga udara terasa sangat dingin.
Ada banyak yang berfoto-foto di dasar tangga dan memilih untuk tidak menaiki ke
bibir kawah. Di dasar kawah juga terdapat sesajen karena kepercayaan Suku
Tengger di situ.
Saya memilih untuk menaiki ke bibir kawah Gunung Bromo. Jumlah anak
tangga kira-kira ada 250. Di setiap 50 anak tangga, terdapat tempat untuk
istirahat namun sebagian sudah tertutup sisa letusan sebelumnya. Menaiki terus,
dan mencapai bibir kawah. Kawah Gunung Bromo tidak terlihat karena tertutup
kabut tebal dan angin yang sangat kencang membuat saya beberapa kali hampir
terjatuh. Di atas udara terasa dingin, berbeda dengan saat saya sebelumnya
kesana pada tahun 2009.
Di tahun 2009, saat saya ke Gunung Bromo, udara sangat cerah meskipun
sama-sama bulan Januari. Saat itu wisatawan belum sebanyak sekarang sehingga
belum banyak warung yang buka. Saat itu, di bibir kawah, asap dari Gunung Bromo
sangat pekat sehingga bau belerang sangat menyengat berbeda pada saat studi
lapangan kemarin dimana bau belerang hampir tidak ada.
Balik pada saat Studi Lapangan. Di bibir kawah, pagar pengaman hanya setinggi
lutut berbeda dibandingkan saat tahun 2009 dimana tinggi pagar pengaman
setinggi perut orang dewasa. Lebar pinggir kawah hanya sekitar satu hingga dua meter sehingga ketika berjalan harus
berhati-hati supaya tidak jatuh apalagi ditambah dengan angin yang sangat
kencang dan pinggir kawah yang basah sisa hujan membuat jalan di pinggir kawah
lumayan sulit dan licin. Berjalan terus di pinggir kawah, ada sesajen yang
menjorok ke dalam kawah dan terbuka dan saya mendekatinya lalu memotret dan
merekamnya. Ada kebanggan tersendiri mencapai bibir kawah Gunung Bromo karena
memang banyak yang berhenti di tangga lalu kembali ke bawah karena kesulitannya
menaiki tangga Gunung Bromo yang terlihat lumayan sempit dan kurang terawat
Saat saya turun dari bibir kawah, saya berpapasan dengan Pak Doni yang
menanyakan apakah masih ada yang di bibir kawah, saya jawab iya karena memang masih
ada beberapa di bibir kawah. Kabut mulai menghilang sehingga memberi
pemandangan hamparan pasir yang luas dan juga terlihat pura dan parkiran jeep
yang ternyata lebih jauh dari prakiraan saya. Di dasar tangga, kabut kembali
datang dan memberi angin yang sangat kuat sehingga banyak yang kesulitan
berjalan. Saya terus memegang kamera saya dan merekam kekuatan angin tersebut. Menuruni
gunung, saya mungkin menginjak beberapa kotoran kuda karena saya lebih
memperhatikan yang di depan dibandingkan yang dibawah kaki. Terlihat sudah
tidak ada jaket putih yang jalan ke atas bahkan sudah sedikit yang menurun
menunjukan bahwa saya adalah salah satu yang terakhir dari angkatan Heksadraga
yang menuruni Gunung Bromo.
Saya turun menuruni Gunung Bromo bersama Arsyad yang juga tidak
menggunakan kuda. Ketika sudah di hamparan lautan pasir, kabut mulai menghilang
dan menunjukan pemandangan Gunung Bromo yang sangat bagus. Saya memilih untuk
foto dan juga sekalian foto dengan tanda larangan ke bibir kawah Gunung Bromo
sebagai candaan untuk keluarga. Pemandangan campuran kabut dan juga sinar
matahari sangat bagus. Mendekati parkiran Jeep saya dan Arsyad diteriaki untuk
segera masuk ke Jeep. Ternyata banyak yang sudah meninggalkan Gunung Bromo
untuk ke Bukit Teletubbies. Jeep yang seharusnya saya tumpangi meninggalkan
saya sehingga saya terpaksa menaiki Jeep yang lain. Setelah itu, perjalanan
dilanjutkan ke Bukit Teletubbies yang tetap dalam Kawasan Taman Nasional
Bromo-Tengger-Semeru dan berada di balik Gunung Bromo.
Komentar
Posting Komentar