CALLISTA AZKA F. - SAMBUTAN DINGIN DI KAKI GUNUNG BROMO
Sambutan Dingin di Kaki Gunung Bromo
Oleh Callista Azka Faustina
Pengalaman saya yang
menurut saya sangat berkesan bagi saya salah satunya adalah pada saat saya dan
satu angkatan SMA Labschool Kebayoran pergi ke Gunung Bromo. Selama seumur
hidup, inilah pertama kalinya saya pergi mengunjungi Gunung Bromo dan bagi
saya, pengalaman ini terasa senang dan kesal sekaligus. Selain itu pengalaman
ini juga terasa sangat dingin sekali saya sampai tidak bisa merasakan tangan
dan wajah saya. Pada malam hari rabu ke kamis jam sebelas lewat lima belas
sampai dengan jam dua belas malam, kami satu angkatan dibangunkan untuk memulai
perjalanan kami ke Gunung Bromo. Perkiraan sampai destinasi kira-kira tiga jam.
Itu pun baru sampai tempat pertukaran mobil elf yang tadi kami naiki ke lokasi
dan bertukar masuk ke dalam jeep. Sebelum keluar dari mobil elf jauh dari
lokasi, saya merasa suhu badan saya biasa saja, belum terasa dingin. Beberapa
menit sebelum tiba di lokasi masih di dalam mobil elf, tiba-tiba angin terasa
lebih dingin. Saya pun bersiap menggunakan jaket angkatan dan jaket kulit yang
saya bawa.
Ketika sampai dan
baru membuka pintu mobil, angin langsung meniup wajah saya. Baru saja turun,
kami disambut dengan dingin sekali. Angin dan hujan langsung gembira menyapa
dan membasahi kami. Kami pun langsung berlari-larian mencari jeep kami
masing-masing. Ketika berlari-lari tanpa tahu arah, ada beberapa pedagang yang
menawarkan jas hujan, sarung tangan, topi, syal, dan lain-lain. Saya akhirnya
membeli satu saking dinginnya. Tapi ternyata mahal sekali! Mereka menggunakan
kesempatan ini dengan sangat baik tapi tetap saja membuat saya kesal. Bodohnya
lagi, saya lupa bawa jas hujan ke lokasi. Padahal saya sudah beli jas hujan
tiga buah tapi akhirnya tidak saya pakai sama sekali. Setelah itu saya langsung
berlanjut mencari jeep saya bernomor tiga puluh dua. Saya dan teman saya seraya
teriak-teriak nomor tiga puluh dua berharap supir jeepnya mendengar. Eh,
ternyata supirnya denger juga. Jeep kami terletak agak terpisah dengan jeep
lain. Warnanya merah menyolok dan mudah diingat. Kami masuk lewat pintu
belakang. Begitu saya masuk, satu-satunya kesan saya dari mobil itu adalah
kecil sekali! Saya takut teman-teman yang lain tidak muat karena di belakang
kursinya hanya muat empat orang dan tinggal ada satu lagi di depan samping
supir padahal kami seharusnya satu jeep ada delapan orang. Di dalam jeep mulai
terasa hangat dan nyaman karena kami berempat di belakang sempit-sempitan.
Untung tidak ada pendingin udara, kalau ada saya sudah beku. Begitu pak supir
masuk, jeepnya dinyalakan dan mulai bergerak. Sambil jeepnya melaju melewati
bukit-bukit, supirnya membuka jendela pintu di sampingnya padahal saya duduk di
belakangnya persis, begitu melaju, udara dingin langsung masuk dan langsung
terasa pada kepala dan leher saya. Rasanya seperti mau bersin, demam, radang
dan muntah sekaligus. Satu jeep langsung terasa dingin gak karu-karuan. Selama
lebih dari sejam dalam perjalanan ke kaki gunung bromo seperti itu.
Ketika tiba di lokasi
selanjutnya, hujan pun makin lebat. Baru saja saya membuka pintu jeep, sudah
ada pedagang di luar yang menawarkan barang-barangnya. Sejak saya tidak bawa
jas hujan, saya beli satu berwarna kuning cerah. Setelah turun dari jeep, kami
berjalan menuju bukit cinta untuk melihat matahari pagi bangkit dari tidurnya.
Masalahnya, ini hujan tidak berhenti-berhenti, mana lebat lagi, pake berkabut
segala, mana mungkin ada sunrise?? Makin jauh jarak yang saya tempuh, rasanya
badan saya makin beku. Hujan pun membasahi sarung tangan yang kupakai. Dalam
pikiran, terus ngapain tadi gue beli sarung tangannya? Mana mahal lagi. Inilah
kebodohan kedua yang saya sesali. Saat berjalan, saya melihat guru di depan ada
yang sambal membawa paying. Saking tidak kuatnya, saya minta izin bergabung
dibawah satu payung. Ternyata itu bu Fitri! Gelap sekali pagi disana saya tidak
dapat melihat wajah bu Fitri tetapi saya mengenalinya melewati suara. Sambil
berbincang-bincang kami sampai di warung-warung dekat bukit cinta. Ketika saya
bergabung dengan teman-teman, saya melihat tangga tinggi yang menuju ke atas
bukit cinta. Tinggi sekali! Apalagi keadaan cuacanya seperti saat itu, anak
tangga becek, gelap tak terlihat dan ramai sekali.Saya dan teman-teman saya
menghadapi dilema. Naik, atau tidak ya? Itulah pertanyaan yang bolak-balik kita
tanyakan satu sama lain. Sambil memikirkan keputusan, badan saya sudah beku
terlebih dahulu. Wajah saya sudah tak terasa dan akhirnya voting selesai. Kami
akhirnya menaiki anak tangga tersebut pelan-pelan dan sangat berhati-hati. Baru
setengah jalan, kami dengar orang-orang yang sedang jalan turun dari bukit
cinta dan rata-rata mengenai ketidak sepadanan naik ke puncak bukit cinta. Langsung
setelah mendengar percakapan itu, kami mempertimbangkan ulang keputusan kami
tadi dan akhirnya kami kembali ke titik poin awal dan memberhentikan perjalanan
naik ke atas bukit.
Setelah menuruni anak
tangga tadi, kami langsung mencari tempat untuk menghangatkan diri. Kami
menemukan warung kecil yang nyaman dan langsung mencopot jas hujan supaya tidak
basah kuyup. Saya memesan minum indocafe coffeemix panas dan indomie dengan
telur. Saya senang sekali, badan saya langsung pulih, jari saya mulai bergerak
lagi. Nikmatnya makan dan minum panas-panas seperti ini, apalagi di tempat yang
dinginnya bikin orang hipotermia. Yang saya bingung itu waktu kami naik ke
bukit cinta, kok sama sekali tidak ada guru yang berjaga, kalau misalkan murid
ada yang kenapa-napa kan tidak ketahuan, tapi yasudahlah sudah lewat. Setelah
menyantap sarapanku itu, mulai banyak teman-teman lain yang berdatangan. Ketika
saya tanya tentang sunrise, mereka jawab dengan kesal bahwa hujan dan kabut
menutupi sunrise tersebut, jadi katanya mereka naik ke bukit cinta dan menunggu
berlama-lama bukan untuk apa-apa. Saya tertawa dan senang karena sudah menunggu
di warung saja, kalau berlama-lama lagi di luar, bisa saja saya hipotermia,
basah kuyup dan kedinginan.
Setelah itu, saya
bertanya pada warga sekitar untuk tugas sosiologi yaitu kami harus mewawancarai
warga sekitar. Senang sekali saya dapat berbincang-bincang dan bertukar budaya
dengan orang setempat. Salah satunya sedang duduk di pojok warung, duduk dekat
tungku menghangatkan diri sambal merokok. Sambil mengobrol dengannya kami
menyadari bahwa ia ternyata orang yang sangat ramah dan berpikiran terbuka.
Kami merasa mudah untuk mewawancarainya. Kami pun juga merasa senang karena
kami dapat menyelesaikan tugas sosiologi kami. Selanjutnya kami harus kembali
masuk ke jeep untuk melanjutkan perjalanan kami ke gunung bromo. Sambil
berjalan, kami melewati Pak Shobirien yang cuma berlengan dan bercelana pendek.
Kami pun kaget, kok ia tidak merasa dingin. Ia cuma membawa kamera dan sarung.
Bahkan sarungnya bukan untuk menghangatkan badan, tapi katanya saying,
kameranya takut kebaret-baret. Akhir dari semua itu, kami berjalan menuju jeep
di bawah hujan dan melanjutkan sisa perjalanan kami naik ke gunung bromo.
Perjalanan belum selesai di situ, tetapi saya sudah ingin kembali ke hotel
mandi air panas.
Komentar
Posting Komentar