Adristi Sahasika - Miniatur dari Sebuah Perjuangan


Pada hari Jumat, 2 Maret 2018 saya dan teman-teman saya berkunjung ke Museum Polri di Jakarta Selatan. Saat itu adalah pukul 1 siang, kami masuk ke dalam gedung itu sendiri. Dengan pikiran penuh pertanyaan dan rasa ingin tahu, saya berantisipasi akan artefak sejarah yang akan saya temui di museum tersebut.

Di lantai paling atas ada sebuah koleksi seragam dan beberapa patung atau monumen yang menggambarkan sebuah peristiwa atau wajah orang penting dalam sejarah Polri Indonesia. Salah satunya adalah monumen Gorom pada ruang kepahlawanan yang akan saya bahas pada posting ini.

Ruang Kepahlawanan berisi berbagai macam hal-hal kepahlawanan dari kepolisian yang tidak diketahui oleh masyarakat luas & juga berbagai koleksi penting. DIantaranya seperti replika Monumen Gorom yang berada di Pulau Groom Desa Loka Kecamatan Geser Kabupaten Maluku Tengah & Koleksi Peninggalan Yusuf Chusensaputra komandan batalyon 1130 Brimob pada saat Operasi Trikora.

Monumen Gorom terdapat di Pulau Groom, tepatnya di Desa Kota Loka, Kecamatan Geser, Maluku tengah. Monumen ini di resmikan pada 26 Maret 1984 oleh Apers Kapolri Mayjen Polisi Drs. Kafandi. Monumen ini didirikan untuk mengenang [perjuangan Brigade Mobile Polisi dalam Pelaksanaan Operasi Trikora Tahun 1962.

Monumen terdiri dari sebuah perahu bermesin Johnson yang melaju membelah samudra. Di atas perahu terdapat Sembilan patung pasukan pelopor dari seorang penduduk. Pada dinding sisi kanan monumen terdapat relief yang mengilustrasikan kedatangan pasukan pelopor di Pulau Groom.

Pulau Groom merupakan basis tempat resimen team pertempuran (RTP) I melakukan persiapan untuk pelaksanaan infiltrasi ke Fak-Fak. Di Pulau Groom RTP I mengadakan pelatihan-pelatihan sebelum pelaksanaan infiltrasi. Sebelum mengadakan pelatihan fisik, anggota pasukan mengadakan pelatihan cara-cara penggunaan kapal kecil, waktu pasang surut, serta kondisi awan dan cuaca.

Setelah dua hari berada di SBT baru terungkap kalau mereka sedang melakukan napak tilas ke Pulau Gorom, untuk mengenang perjuangan Jenderal Polisi Anthon Soejarwo memimpin pasukan Pelopor merebut Irian Jaya atau Papua melalui Pulau Gorom pada tahun 1962. Gorom adalah saksi emas perjuangan pasukan Brimob di tanah Papua.

Dalam peperangan merebut Papua atau Perang Trikora, pasukan Brimob di bawah pimpinan Anthon Soedjarwo menjadikan Pulau Gorom sebagai markas komando. Bersama masyarakat Gorom atau Goran Riun, mereka bergerak ke Papua atau Irian Jaya dengan menggunakan perahu tradisional.

Dalam Perang Trikora, masyarakat Pulau Gorom atau Goran Riun masuk ke Papua melalui Fak-Fak bersama pasukan Pelopor di bawah pimpinan Anthon Soedjarwo. Kala itu, masyarakat Goran Riun menggunakan perahu tradisional, sedangkan Komandan Pelopor menggunakan perahu bermesin Johnson 40 PK.

Jejak perjuangan bersejarah itu terdokumentasi dalam Monumen Trikora atau Monumen Turabail Gorang Riun yang berdiri di depan Rumah Raja Kataloka. Pada dinding monumen tertulis tanggal operasi 13 Mei 1962, sedangkan perahu bermesin Johnson 40 PK ditumpangi komandan pasukan Pelopr bersama anggota dan masyarakat.

Monumen ini dibagin pada tahun 1983 dan diresmikan oleh Mayor Jenderal Polisi Kafandi pada tahun 1984. Berdiri di atas lahan seluas 15 . 20 meter, Monumen Trikora Turabail Goran Riun menjadi saksi sejarah perjuangan pasukan Brimob merebut Papua dari cengkeraman penjajah.

Sekilas tentang Operasi Trikora. Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) merupakan konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun utara Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961. Selain itu, Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.

Latar belakang Operasi Trikora ialah ketika Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda (termasuk wilayah barat Pulau Papua) saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun, pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda.

Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun.

PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat  sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Belanda mempercepat program pendidikan di Papua bagian barat untuk persiapan kemerdekaan, dengan hasil sebuah akademik angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957.

Indonesia mulai mencari bantuan senjata dari luar negeri menjelang terjadinya konflik antara Indonesia dan Belanda. Indonesia mencoba meminta bantuan dari Amerika Serikat, namun gagal. Akhirnya pada bulan Desember 1960, Jenderal A. H. Nasution pergi ke Moskwa, Uni Soviet, dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan pemerintah Uni Soviet senilai 2,5 miliar dollar Amerika dengan persyaratan pembayaran jangka panjang. Setelah pembelian ini, TNI mengklaim bahwa Indonesia memiliki angkatan udara terkuat di belahan bumi selatan. Amerika Serikat tidak mendukung penyerahan Papua bagian barat ke Indonesia karena Bureau of European Affairs di Washington, DC menganggap hal ini akan “menggantikan penjajahan oleh kulit putih dengan penjajahan oleh kulit coklat”.

Robert Komer dan McGeorge Bundy mulai mempersiapkan rancana agar PBB memberi kesan bahwa penyerahan kepada Indonesia terjadi secara legal, pada bulan April 1961. Presiden John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini karena iklim Perang Dingin saat itu dan kekhawatiran bahwa Indonesia akan meminta pertolongan pihak komunis bila tidak mendapat dukungan AS.

Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap MiG-17, dan sebagainya.

Belanda mengirimkan kapal induk Hari. Ms. Karel Doorman ke Papua bagian barat. Angkatan Laut Belanda menjadi tulang punggung pertahanan di perairan Papua bagian barat, dan sampai tahun 1950, unsur-unsur pertahanan Papua Barat terdiri dari Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda), Korps Mariniers, Marine Luchtvaartdienst.

Sebuah operasi rahasia dijalankan untuk menyusupkan sukarelawan ke Papua bagian barat. Walaupun Trikora telah dikeluarkan, namun misi itu dilaksanakan sendiri-sendiri dalam misi tertentu dan bukan dalam operasi bangunan.

Hampir semua kekuatan yang dilibatkan dalam Operasi Trikora sama sekali belum siap, bahkan semua kekuatan udara masih tetap di Pulau Jawa. Walaupun begitu, TNI Angkatan Darat lebih dulu melakukan penyusupan sukarelawan, dengan meminta bantuan TNI Angkatan Laut untuk mengangkut pasukannya menuju pantai Papua bagian barat, dan juga meminta bantuan TNI Angkatan Udara untuk mengirim 2 pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan menuju target yang dilakukan oleh TNI AL.

Kepolisian Republik Indonesia juga menyiapkan pasukan Brigade Mobil yang tersusun dalam beberapa resimen pertempuran (RTP). Beberapa RTP Brimob ini digelar di kepulauan Ambon sebagai persiapan menyerbu ke Papua bagian barat. Sementara itu Resimen Pelopor (unit parakomando Brimob) yang dipimpin Inspektur Tingkat I Anton Soedjarwo disiagakan di Pulau Gorom. Stau tim Menpor kemudian berhasil menyusup ke Papua bagian barat melalui laut dengan mendarat di Fakfak. Tim Menpor ini terus masuk jauh ke pedalaman Papua bagian barat melakukan sabotase dan penghancuran objek-objek vital milik Belanda.

Pada tanggal 12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Pesawat Hercules kembali ke pangkalan. Namun pada tanggal 18 Januari 1962, pimpinan angkatan lain melapor ke Soekarno bahwa karena tidak ada perlindungan dari TNI AU, sebuah operasi menjadi gagal.

Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York. Pada perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Ibukota Hollandia dinamai Kota Baru, dan pada 5 September 1963, Papua bagian barat dinyatakan sebagai “daerah karantina”.

Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini ditentang oleh banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1965. Untuk meredam gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pengeboman udara.

Menurut Amnesty International, lebih dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini. OPM sendiri juga memiliki tentara dan telah melakukan berbagai tindakan kekerasan.

Pada tahun 1969, diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diatur oleh Jenderal Sarwo Edhi Wibowo. Menurut anggota OPM Moses Werror, beberapa minggu sebelum Pepera, angkatan bersenjata Indonesia menangkap para pemimpin rakyat Papua dan mencoba membujuk mereka dengan cara sogokan dan ancaman untuk memilih penggabungan dengan Indonesia.

Dan berakhir kunjungan saya pada museum Polri Indonesia, yang saya tulis postingan ini fokus kepada hal-hal yang berkaitan dengan Monumen Gorom dan Operasi Trikora. Saya harap materi yang diterterakan pada postingan ini dapat menambah ilmu bagi kita semua dan untuk menjadi sebuah wawasan untuk memajukan negeri Indonesia kepada masa depan yang lebih baik.



Komentar

Postingan Populer