Brian Ramadhan Pramasudi-Bukti Pembacaan Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Pada
hari Minggu, 25 Februari 2018, saya bersama teman-teman berkunjung ke sebuah
museum yang memiliki nilai sejarah yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia dalam
kaitannya dengan penyusunan naskah proklamasi. Museum tersebut adalah Museum Perumusan
Naskah Proklamasi atau disingkat dengan Munasprok. Museum ini dulunya adalah
rumah Laksamana Maeda Tadashi yang digunakan oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta,
dan Achmad Soebardjo untuk merumuskan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Museum
ini terletak di daerah Menteng. Tepatnya di Jl. Imam Bonjol No. 1 RT 9/RW.4
Menteng, Jakarta Pusat (dulu Jalan Meiji Dori). Gedung ini ditetapkan sebagai
Museum Perumusan Naskah Proklamasi sejak 24 November 1992 berdasarkan surat
keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0476/0/1992. Museum ini dibuka
setiap hari, kecuali pada hari Senin. Jam operasional museum ini dimulai dari
pukul 08.00 sampai pukul 16.00. Harga tiket masuk ke museum ini sebesar
Rp2000,00 untuk satu orang dewasa.
Saat saya sampai di museum tersebut,
saya melihat suasana di sekitar
museum sangat ramai karena museum tersebut berada di sebelah Gereja Paulus dan
saya datang di hari Minggu. Karena pada hari itu gereja sedang ramai didatangi,
tempat parkir di sana tidak cukup lagi sehingga harus parkir di depan Museum
Naskah Proklamasi. Karena hal tersebut, saya sempat beranggapan bahwa museum
ini ramai dikunjungi orang. Setelah saya memasuki museum, ternyata hanya ada beberapa
orang yang sedang berkunjung museum ini.
Saya memasuki museum tersebut dan
langsung menuliskan nama saya di buku daftar tamu. Saya melihat sekeliling
banyak sekali benda bersejarah yang berhubungan dengan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. Saat saya masuk, saya langsung melihat meja yang digunakan untuk
merumuskan dan mengesahkan naskah proklamasi kemerdekaan berada di samping
kanan dan kiri pintu masuk. Di depan pintu masuk terdapat mesin tik yang
digunakan oleh Sayuti Melik untuk mengetik naskah proklamasi kemerdekaan. Di
bagian luar, terdapat sebuah bunker yang dapat dimasuki, tetapi tidak bisa
terlalu dalam. Bunker tersebut adalah tempat dimana dulu Laksamana Maeda menyimpan
barang-barang berharganya, seperti dokumen penting kenegaraan ketika ia
menjabat sebagai kepala penghubung Angkatan Laut dan Darat Jepang. Di luar juga
ada patung-patung pahlawan yang berjasa dalam peristiwa Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. Di lantai dua, saya menemukan sebuah piring hitam yang menarik
perhatian saya. Di atas piring hitam tersebut terdapat informasi yang
menyatakan bahwa piring hitam tersebut adalah piring hitam yang pertama kali
merekam suara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Piring hitam ini memiliki merk Lenco
tipe L78 yang dibuat di negara Swiss. Piring hitam ini merupakan sumbangan
koleksi dari Studio Lokananta di Solo. Pekerjaan pokok dari Studio Lokananta adalah
memproduksi dan mereplikasi siaran dengan media piring hitam.
Ternyata, suara pembacaan naskah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang direkam pada piring hitam tersebut bukan direkam
pada 17 Agustus 1945. Perekaman ini justru dilakukan pada tahun 1951 di Studio
Radio Republik Indonesia yang berada di Jl. Merdeka Barat 4-5, Jakarta Pusat.
Menurut ensiklopedia, pada 17 Agustus 1945, suara Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia memang tidak ada yang direkam, dari suara maupun video karena saat
itu masih diawasi oleh Jepang.
Salah satu tokoh yang sangat penting
dalam perekaman pembacaan naskah proklamasi ialah Moehammad Joesoef Ronodipoero.
Beliau adalah seorang pendiri RRI (Radio Republik Indonesia) dan duta besar luar
biasa Indonesia di Uruguay, Argentina, dan Chile. Beliau dianggap sebagai pahlawan
karena peran dan jasanya yang sangat besar dalam menyiarkan proklamasi
kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia saat beliau bekerja di Radio Hoso Kyoku.
Sejarah
piringan hitam yang merekam suara pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
tidak bisa lepas dari peristiwa pokok yang sangat penting, yaitu pembacaan dan penyiaran
proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Peristiwa tersebut terjadi
pada Jumat pagi pukul 10.00 tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
dibacakan oleh Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Ronodipoero
sendiri saat itu tidak mendengar kabar tersebut, karena para staf Hoso
Kyoku sejak hari Rabu sebelumnya sudah tidak diizinkan untuk masuk
atau keluar stasiun radio tersebut, semuanya ada di dalam. Mendadak seorang
bernama Syahrudin mencari Ronodipoero dan memberikan selembar surat pendek
dari Adam Malik yang
berisi naskah proklamasi.
Joesoef
Ronodipoero tidak mengerti bagaimana Syahrudin bisa memasuki gedung stasiun
radio yang sekarang ada di Jalan Medan Merdeka Barat 4-5 ini, karena kala itu gedung
itu dijaga dengan sangat ketat oleh Kempetai. Saat akan menyiarkan berita
tersebut, Ronodipoero juga bingung karena semua ruang studio siaran dijaga oleh
Kempetai, namun dia mengingat bahwa studio siaran mancanegara sudah tidak
digunakan. Namun, ruangan ini tidak tersambung dengan pemancar. Ronodipoero
kemudian menanyakan kepada bagian teknis dan mendapat gagasan untuk mengubah
pengaturan kabel stasiun radio, sehingga kabel pemancar siaran dalam negeri
tersambung dengan pemancar manca negara. Sehingga saat siaran, di studio akan
terlihat dan terdengar layaknya siaran biasa.
Setelah
semuanya siap, pada pukul 19.00, Joesoef Ronodipoero yang kala itu berusia 26
tahun, membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia lewat siaran mancanegara ke
seluruh dunia. Setelah kira-kira 20 menit, dia juga membacakan naskah tersebut
dalam Bahasa Inggris, sehingga radio-radio
internasional seperti BBC London, Radio Amerika, Singapura dan
lainnya bisa mengerti maksud siaran tersebut dan meneruskannya, sehingga
seluruh dunia mendengar kabar dan mengetahui tentang proklamasi kemerdekaan
Indonesia ini. Aksi berani Ronodipoero ini kemudian diketahui oleh Tentara
Kekaisaran Jepang, karena siaran tersebut akhirnya juga ditangkap oleh radio di
negeri Jepang.
Seluruh staf Hoso Kyoku yang terlibat dalam aksi ini dikenai
hukuman disipliner berupa siksaan fisik oleh tentara Jepang.
Setelah
peristiwa tersebut, Ronodipoero mendirikan Radio Suara Indonesia Merdeka
(The Voice of Free Indonesia) dari
barang-barang elektronik bekas. Tanggal 25 Agustus 1945,
Presiden Soekarno dimohon untuk menyampaikan pidatonya di radio tersebut. Ini
adalah pidato pertama Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Mohammad
Hatta sendiri menyampaikan pidato pertamanya tanggal 29 Agustus
1945.
Saat
itu di radio milik Tentara Jepang di daerah-daerah selain Jakarta masih banyak
yang melanjutkan siaran, karena tidak dijaga seketat di Jakarta. Hal ini
disebabkan karena Kempetai sudah tidak lagi dominan pasca penyerahan
Jepang. Ronodipoero meminta kepada Abdulrahman Saleh supaya radio-radio
di daerah-daerah tadi sebaiknya mengadakan adanya kelanjutan siaran untuk
menyebarkan semangat perjuangan kemerdekaan. Gagasan ini lalu diterima dan
tanggal 10 September 1945, pimpinan-pimpinan radio
daerah dari Surakarta, Yogyakarta, Bandung, Semarang dan
lain-lain berkumpul untuk membicarakan hal ini. Semuanya menyetujui untuk
meminta pemerintah Jepang untuk memberikan stasiun radio mereka kepada Republik
Indonesia. Pihak Jepang menolak permintaan ini, karena menurut perjanjian
Penyerahan Jepang, Indonesia harus diserahkan kembali kepada Tentara Sekutu.
Tanggal 11 September 1945
rapat kembali diadakan untuk menyetujui didirikannya Radio Republik Indonesia (RRI) dan sekali
lagi supaya meminta pemerintah Jepang untuk memberikan stasiun-stasiun radio di
daerah. Karena permintaan tersebut tetap ditolak, akhirnya terjadi perebutan
secara paksa terhadap stasiun-stasiun radio daerah tersebut. Namun hal ini
tidak mendapat perlawanan banyak karena moral Tentara Kekaisaran Jepang yang
sudah jatuh pasca Penyerahan Jepang kepada Tentara Sekutu. Joesoef Ronodipoero
akhirnya menjadi Kepala Radio Republik Indonesia.
Tentara
Sekutu yang memenangkan Perang Dunia
II kemudian tiba di Indonesia. Saat itu setelah Rapat Akbar
Ikada, kaum pemuda merebut kantor-kantor Jepang untuk menjadi milik Republik
Indonesia, termasuk Hoso Kyoku. Saat Tentara Kerajaan
Belanda menumpang Tentara Sekutu untuk mengambil alih
Indonesia, yaitu Agresi Militer Belanda I tahun 1946, RRI direbut oleh
Tentara Kerajaan Belanda. Joesoef Ronodipoero kemudian ditangkap dan dipenjara pada
tanggal 21 Juli 1947.
Karena
suara pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak direkam, beliau membujuk
Presiden Soekarno agar kembali merekam pembacaan teks proklamasi kemerdekaan.
Presiden Soekarno sempat menolak mentah-mentah niat dan bujukan tersebut,
dikarenakan proklamasi kemerdekaan hanya dibacakan satu kali. Setelah kembali dibujuk,
Presiden Soekarno akhirnya bersedia untuk membacakan kembali teks proklamasi
kemerdekaan. Hasil rekaman suara tersebut dikirim ke perusahaan piring hitam di
Lokananta, Solo pada tahun 1959.
Kepingan piringan hitam yang berisi
rekaman pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan tersebut sempat teronggok dalam
tumpukan koleksi di Gudang Lokananta. Saat itu tidak ada keterangan bahwa
piringan hitam tersebut berisi rekaman yang sangat penting. Vinil tersebut
hanya bersampul cokelat bertuliskan “Lokananta”. Piringan hitam tersebut
berukuran 10 inci dengan kecepatan 78rpm, seukuran piringan hitam yang biasa
diputar di gramofon. Pada bagian tengah vinil terdapat informasi bahwa piringan
hitam tersebut sepaket dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Menyadari betapa berharganya
kepingan piringan hitam tersebut, Bemby dengan sigap membersihkan lima keping
rekaman berharga tersebut.
Bemby
Ananta adalah salah seorang staf remastering Lokananta. Menurut Bemby,
dokumentasi rekaman pembacaan teks proklamasi mulai digandakan pada tahun 1959,
sekitar delapan tahun setelah perekaman. Data tersebut berasal dari data kertas
tape yang masih tersimpan di Studio Lokananta. Akan tetapi, tampaknya mereka
kehilangan semua cover vinilnya. Namun,
piringan hitam tersebut dirawat dengan baik, sehingga rekaman pembacaan naskah
proklamasi masih bisa diperdengarkan di sejumlah museum.
Komentar
Posting Komentar