DIANDRA ALYA PUTRI - BERTEMU POLISI ZAMAN BELANDA DI MUSEUM POLRI
BERTEMU POLISI ZAMAN BELANDA DI MUSEUM POLRI
Pada hari Minggu kemarin, tepatnya tanggal 25
Februari 2018, saya dan teman-teman saya berkesempatan mengunjungi Museum
Kepolisian Negara Indonesia (POLRI). Saya sengaja memilih Museum Polri ini
untuk menambah wawasan dan pengalaman saya karena kunjungan saya kali ini
merupakan pengalaman saya yang pertama kali, sedangkan museum lainnya yang
berkaitan dengan materi pembelajaran dari mata pelajaran Sejarah Indonesia kebetulan
sudah pernah saya kunjungi. Saya dan teman-teman saya juga memilih museum ini
karena letaknya yang tidak jauh, yaitu di Kebayoran Baru, dekat dari sekolah
kami.
Pada pukul 08.00, saya dan teman-teman saya
berkumpul di salah satu restoran di jalan Ahmad Dahlan, Kebayoran Baru. Kami
sengaja berkumpul terlebih dahulu agar praktis bisa sampai di tempat dengan
waktu yang bersamaan. Setelah sedikit membeli cemilan dan minuman, kami
berangkat menuju Museum Polri. Sekitar pukul 08.40, kami sampai di tempat
tujuan dan kami sedikit kaget karena terdapat tulisan ‘TUTUP’ pada pintu utama Museum
Polri itu. Padahal sebelumnya saya sudah cek di internet, museum ini seharusnya
buka sejak pukul 08.00. Saya pun bertanya kepada petugas yang berada di depan
pintu utama, ia mengatakan bahwa museum tersebut akan buka sebentar lagi, hanya
tinggal menyalakan lampu saja katanya.
Museum Kepolisian Negara Republik Indonesia
atau biasa disebut Museum Polri merupakan museum semi modern
yang dimiliki Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini. Museum ini
beralamat lengkap di Jalan Trunojoyo nomor 3, RT.5/RW.2, Selong, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan. Gedung museum ini merupakan gedung yang menyatu gedung markas besar
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Museum ini terbuka untuk umum mulai dari
hari selasa sampai dengan minggu. Museum
Polri ini diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 1 Juli
2009 silam, tepatnya pada saat hari ulang tahun Polri yang ke 63. Museum
Kepolisian Negara Republik Indonesia ini dibangun atas inisiatif yang
dicetuskan oleh Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri dengan tujuan
melestarikan nilai-nilai kesejarahan kepada pewarisannya di generasi mendatang.
Museum ini memiliki 3 lantai dengan isi yang
berbeda setiap lantainya. Di museum ini juga terdapat satu sudut yang menjadi
bagian yang sangat menarik dan menyenangkan bagi anak-anak yang mengunjunginya.
Selain dekorasinya yang ceria dan berwarna-warni, di sini anak-anak bisa
beraktivitas dengan membaca buku cerita, bermain mobil-mobilan, atau
berpura-pura menjadi polisi cilik dengan menggunakan kostum polisi yang ada di
sana. Koleksi museum ini berbagai macam, seperti sepeda motor patroli polisi,
beberapa sepeda ontel patroli, berbagai kamera yang digunakan untuk
mengabadikan Tempat Kejadian Perkara (TKP), stamping
kit untuk mengambil sidik jari, perlengkapan komunikasi, alat pendeteksi
kebohongan, alat penyadap yang disamarkan di dalam koper, patung polisi pada
zaman Belanda dan Jepang, berbagai macam seragam polisi, koleksi yang berkaitan
dengan aksi terorisme di Indonesia (bom Bali I, bom Bali II, bom JW Marriott,
bom Malang, dll). Saya memilih patung polisi pada zaman Belanda untuk saya
jelaskan pada tugas Sejarah Indonesia ini.
Istilah polisi berasal dari bahasa Belanda politie yang
mengambil dari bahasa Latin politia berasal
dari kata Yunani politeia yang
berarti warga kota atau pemerintahan kota. Kata ini pada mulanya dipergunakan
untuk menyebut "orang yang menjadi warga negara dari kota Athena",
kemudian pengertian itu berkembang menjadi "kota" dan dipakai untuk
menyebut "semua usaha kota". Oleh karena pada zaman itu kota merupakan
negara yang berdiri sendiri yang disebut dengan istilah polis, maka politea atau polis diartikan sebagai semua usaha dan kegiatan negara, juga
termasuk kegiatan keagamaan. Definisi
polisi adalah suatu pranata umum
sipil yang menjaga ketertiban, keamanan dan penegakan hukum diseluruh wilayah
negara. Sedangkan kepolisian adalah salah satu lembaga penting yang memainkan
tugas utama sebagai penjaga keamanan, ketertiban dan penegakan hukum, sehingga
lembaga kepolisian pasti lah ada di seluruh negara berdaulat. Kadangkala
pranata ini bersifat militaristis, seperti di Indonesia sebelum Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI) dilepas dari
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Polisi dalam lingkungan pengadilan
bertugas sebagai penyidik. Dalam tugasnya dia mencari barang bukti,
keterangan-keterangan dari berbagai sumber, baik keterangan saksi-saksi maupun
keterangan saksi ahli.
Pada masa kolonial Belanda,
pembentukan pasukan keamanan diawali oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang
diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang
Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada
tahun 1867 sejumlah warga Eropa di Semarang,
merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga keamanan mereka. Wewenang operasional
kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie
dipertanggungjawabkan pada procureur general (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda
terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan), stads politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain. Sejalan
dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan
jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak
diperkenankan menjabat hoofd
agent (bintara), inspecteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk
pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi,
asisten wedana, dan wedana polisi.
Polisi pada zaman Hindia Belanda merupakan produk
langsung dari ketakutan dan kepedulian. Sejak tahun 1870, masyarakat Eropa
mulai membanjiri dan menetap di Hindia Belanda. Mereka merasa was-was karena
bagaimana pun mereka tinggal di sebuah negeri asing di mana masyarakat di
sekeliling mereka punya budaya dan pemahaman lain atas komunitas kulit putih. Perlawanan
kaum pribumi terhadap otoritas kolonial sebagaimana terjadi pada tahun 1888 di
Banten dan sebelumnya pada tahun 1854 menjadi catatan tersendiri buat
pemerintah kolonial untuk mendirikan sebuah organisasi kepolisian modern untuk
menjaga kepentingan dan keberadaan mereka di Hindia Belanda. Kemunculan politik
etis dan terciptanya golongan elit pribumi yang menginisiasi gerakan
nasionalisme di Hindia Belanda mendorong pemerintah kolonial lebih aktif
memodernisasi kepolisiannya. Selain sebagai penjaga keamanan juga untuk mewujudkan
gagasan bahwa urusan keamanan adalah bagian penting dari kewajiban
(penyelenggaraan) negara sekalipun dengan segala cara tetap ingin
mempertahankan status quokolonial.
Pemerintah kolonial pun memikirkan fungsi sosial lain
dari kepolisian. Ia harusnya mampu menjaga ketertiban masyarakat; memastikan
masyarakat tetap patuh pada peraturan pemerintah; dan memuaskan kebutuhan
masyarakat akan rasa aman. Kepolisian pada zaman Hindia Belanda dibentuk
sebagai tanggapan dari negeri induk terhadap persoalan bagaimana memelihara dan
menjaga keamanan di negara koloni. Ironisnya, ketika lembaga kepolisian ini
dibentuk, tak ada seorang pribumi pun yang dimintai masukan tentang bagaimana
seharusnya kepolisian bekerja. Ketika tahun 1930, anggota kepolisian mencapai
jumlah terbesarnya, yakni 54.000 personil, 96% diantaranya justru berasal dari
golongan pribumi. Sebagian besar dari mereka, kecuali anak bupati yang diberi
previlese sebagai petinggi polisi, menempati posisi sebagai anggota terendah
dalam struktur kepolisian yang hierarkis.
Memang pada tahun 1860, pejabat tinggi kolonial di Hindia
Belanda melontarkan kritik pedas pada kinerja kepolisian yang tak sanggup
memelihara keamanan dan ketertiban di kalangan masyarakat. Menanggapi kritik
demikian pemerintah kolonial pun mendirikan sebuah komisi kepolisian yang
memiliki tugas menelaah dan mencari jalan keluar agar ada perbaikan pada mutu
kerja kepolisian. Apa yang terjadi pada zaman itu mengingatkan kita pada
pembentukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang didirikan pada tanggal
1 Juni 2006. Tugas Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) pun hampir sama
dengan komisi kepolisian yang dibentuk pada zaman kolonial, yakni berupaya
meningkatkan kinerja kepolisian Indonesia melalui masukan dan saran kepada
Presiden Republik Indonesia.
Pada zaman kolonial, ternyata polisi pun mengambil urusan
menangani soal-soal akhlak. Pada tahun 1937, atas permintaan dari Gubernur
Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, polisi
mengadakan penyelidikan perkara homoseksualitas yang marak terjadi di kalangan
pejabat tinggi pemerintah. Perintah gubernur kepada polisi itu didahului oleh
sebuah surat dari Christelijke Staaprtij (CSP) yang melihat telah banyak dosa
yang dibuat para pejabat tinggi karena menjalankan aktivitas homoseksual.
Kepolisian kolonial pun menebar agen reserse untuk menangkap homoseksual dan
memenjarakan mereka. Cara kepolisian kolonial memberantas homoseksualitas tak
jauh berbeda dari cara mereka memberantas komunisme yang melakukan pemberontakan
pada tahun 1926.
Negara Hindia Belanda digambarkan oleh sejarawan Henk
Schulte Nordholdt sebagai negara yang penuh dengan kekerasan. Karena itu, guna
memajukan kepentingan ekonomi dan kekuasaan politiknya, negara kolonial ini
praktis membutuhkan polisi sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang bisa
secara aktif menjalankan kebijakan dan menegakkan “rust en orde” atau keamanan
dan ketertiban. Polisi di era kolonial pada kenyataannya telah merambah ke
fungsi lain, dari sekadar memberikan rasa aman kepada komunitas Eropa dan
masyarakat hingga mencakup persoalan politik dan polisi moral. Peran yang luas
dan menggurita itu membuat sejarawan Harry Poeze menyebut Hindia Belanda
sebagai negara polisi (politiestaat).
Jadi, Kepolisian Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897–1920 adalah merupakan
cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini. Saya
mendapatkan pengalaman baru saat berkunjung ke Museum Polri dan pengalaman ini
merupakan salah satu pengalaman yang tidak akan saya lupakan.
Komentar
Posting Komentar