M. Zaki Ilham Eldiju- Mesin Tik Nazi Penyelamat Bangsa


Pada tanggal 25 Februari 2018 lalu,  Saya dan beberapa teman saya dari jurusan IPS angkatan Heksadraga, pergi ke bekas rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda. yaitu seorang laksamana dari Jepang yang berjasa dalam perumusan naskah proklamasi negara kita tercinta Republik Indonesia rumah tersebut sekarang dikenal dan dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi atau disingkat Munasprok. Museum tersebut terletak di Jalan Imam Bonjol No.1 RT.9/RW.4 Menteng Menteng 9, RT.9/RW.4, 4, Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10310. Gedung ini didirikan tahun 1920-an oleh seorang arsitek Belanda  J.F.L. Blankenberg bergaya arsitektur Eropa (Art Deco) dengan luas tanah 3.914 m². Pada tahun 1931, pemiliknya atas nama PT. Asuransi Jiwasraya. Ketika pecah Perang Pasifik, gedung ini dipakai oleh British Consul General sampai Jepang menduduki Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, rumah tersebut menjadi rumah kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, kepala kantor perhubungan antara angkatan laut dan angkatan udara Jepang. Sampai kemerdekaan 1945, rumah ini tetap menjadi kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda sampai dengan datangnya sekutu pada September 1945. Setelah kekalahan Jepang, gedung ini menjadi markas tentara Inggris. Pemindahan kepemilikan gedung ini terjadi pada aksi nasionalisasi terhadap milik bangsa asing di Indonesia. Gedung ini diserahkan ke Departemen Keuangan dan pengelolaannya dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Jiwasraya.
Pada 1961, gedung ini dikontrak oleh kedutaan Ingrris sampai tahun 1981. Selanjutnya gedung ini diterima oleh Departemen Penididikan dan Kebudayaan pada 28 Desember 1981. Tahun 1982, gedung ini sempat digunakan sebagai perkantoran oleh Perpustakaan Nasional. Pada tahun 1984, Menteri Pendidikan dan Kebudayaa Prof. Nugroho Notosusanto, menginstruksikan kepada Direktorat Permuseuman agar merealisasikan gedung ini sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Gedung ini terhitung besar untuk sebuah rumah yang berada di masa penjajahan. Saat pertama kali masuk, kami diharuskan membayar tiket seharga 3000 rupiah. Di dalamnya terdapat berbagai macam barang yang berhubungan dengan penyusunan naskah proklamasi Republik Indonesia, seperti Ruang Pengesahan, Ruang pertemuan, dan lain-lain.  Yang pertama kami lakukan adalah tentu saja masuk ke dalam bunker perlindungan yang merupakan daya tarik sendiri untuk museum ini. Bunker nya tidak terlalu besar, hanya memungkinkan kurang lebih 10 di dalamnya. Tapi bukan bunker itu yang akan saya bahas di tulisan kali ini, melainkan ruangan yang berisi mesin tik dan patung dua orang pria di dekatnya. Karena peristiwa Perumusan Naskah Proklamasi identik dengan Peristiwa Rengasdengklok, maka saya akan menjelaskan kronologi nya dari mulai Peristiwa Rengasdengklok sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Berita tentang kekalahan Jepang ini masih dirahasiakan oleh Jepang. Namun demikian para pemimpin pergerakan dan pemuda Indonesia lewat siaran luar negeri telah mengetahui pada tanggal 15 Agustus 1945. Untuk itu para pemuda segera menemui Bung Karno dan Bung Hatta di Pegangsaan Timur No.56 Jakarta dan meminta agar mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia lepas dari pengaruh Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta tidak menyetujui dengan alasan bahwa proklamasi perlu dibicarakan dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sehingga pada malam hari tanggal 15 Agustus 1945 mengadakan rapat di ruang Laboratorium Mikrobiologi di Pegangsaan Timur yang dihadiri oleh Soekarni, Yusuf Kunto, Syodanco Singgih, dan Chaerul Saleh sebagai pemimpinnya. Hasil rapat disampaikan oleh Darwis dan Wikana yaitu mendesak agar Soekarno-Hatta memutuskan ikatan dengan Jepang. Muncul suasana tegang sebab Soekarno-Hatta tidak menyetujuinya. Namun golongan muda tetap mendesak agar tanggal 16 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan. Prinsip golongan tua menekankan masih perlunya diadakan rapat PPKI.
Kemudian dini hari tanggal 16 Agustus 1945, golongan muda mengadakan rapat di Asrama Baperpi, Jalan Cikini 71 Jakarta dengan keputusan untuk membawa Bung Karno dan Bung Hatta keluar kota agar tidak terkena pengaruh Jepang. Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno-Hatta diculik oleh Soekarni, Yusuf  Kunto, dan Syodanco Singgih ke Rangasdengklok. Pada sore harinya, Ahmad Soebarjo memberi jaminan bahwa selambat-lambantnya esok hari tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta akan memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, maka Cudanco Subeno (komandan kompi tentara PETA di Rengasdengklok) memperbolehkan Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta.
Atas jasa Ahmad Soebarjo pertemuan diadakan di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1 Jakarta untuk membicarakan pelaksanaan proklamasi. Menjelang pagi tanggal 17 Agustus 1945 teks proklamasi dirumuskan oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dam Ahmad Soebarjo yang disaksikan oleh Sayuti Melik, Sukarni, B.M Diah, dan Sudiro. Naskah proklamasi yang ditulis tanggan oleh Soekarno dibacakan di hadapan peserta rapat. Setelah mendapat persetujuan ini dan siapa yang menandatangani teks tersebut kemudian diketik oleh Sayuti Melik dengan beberapa perubahan yang kemudian ditandatangani oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Disetujui pula bahwa proklamasi diadakan di rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta.
Pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 tepat pukul 10.00 WIB di Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta dibacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Ir. Soekarno didampingi Drs. Moh. Hatta dan dilanjutkan dengan pengibaran bendera merah putih oleh S. Suhud dan Cudanco Latief Hendradiningrat dan diiringi dengan nyanyian lagu Indonesia Raya dan diteruskan oleh sambutan Walikota Suwiryo dan  Dr. Mawardi. Setelah upacara selesai masing-masing meninggalkan tempat. Proklamasi berlangsung secara sederhana, namun penuh khidmat dan dihadiri oleh sekitar 1.000 orang terdiri dari para pemimpin bangsa, kelompok pemuda para pejuang dan rakyat yang mengetahui peristiwa tersebut.
Yang unik, Peristiwa Perumusan Naskah Proklamasi ini ada sedikit hubungannya dengan Nazi. Ya, Nazi partai Jerman yang kejam yang dipimpin oleh Adolf Hitler yang identik dengan gaya klimis dan “kumis Jojon”-nya. Begini. Setelah berhasil menyusun naskah proklamasi yang sudah ditulis tangan oleh Ir. Soekarno, ada sebuah masalah kecil yaitu, mesin ketik di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda berhuruf  kanji alias huruf  Jepang. Untungnya, salah seorang ajudan Laksamana Muda Tadashi Maeda yang bernama Satsuki Mishima,  mengetahui di mana bisa mendapatkan mesin tik berhuruf Latin di tengah malam itu. Ia langsung pergi untunk meminjam mesin ketik kepunyaan kantor perwakilan Kriegsmarine (Angkatan Laut Jerman) di Indonesia. Dengan mesin ketik milik Korvetten-kapitan Dr. Hermann Kandeler inilah akhirnya rancangan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia diketik oleh Sayuti Melik. Sayangnya, kini tidak diketahui di mana mesin ketik bersejarah itu berada, karena yang dipajang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi hanyalah sebuah barang replika. Di saat pengetikan, yang mengetik naskah proklamasi adalah Sayuti Melik.

Dilahirkan pada tanggal 22 November 1908, anak dari Abdul Mu'in alias Partoprawito, seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta. Sedangkan ibunya bernama Sumilah. Pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa Srowolan, sampai kelas IV dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di Yogyakarta.

Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya kepada Sayuti kecil. Ketika itu ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau. Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan ia ditahan berkali-kali oleh Belanda. Pada tahun 1926 ditangkap Belanda karena dituduh membantu PKI dan selanjutnya dibuang ke Boven Digul (1927-1933). Tahun 1936 ditangkap Inggris, dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris ditangkap kembali oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta, dimasukkan sel di Gang Tengah (1937-1938). Sepulangnya dari pembuangan, Sayuti berjumpa dengan SK Trimurti, dan terlibat dalam berbagai kegiatan pergerakan secara bersama. Akhirnya pada 19 Juli 1938 mereka menikah. Pada tahun itu juga Mereka mendirikan koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu. Sayuti Melik sempat menjadi anggota PPKI. Beliau masuk tanpa sepengetahuan Jepang. Setelah kemerdekaan, Beliau sempat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Sukarno. Namun, ketika Bung Karno berkuasa, Sayuti justru tak "terpakai". Ia menentang pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS. Beliau meninggal pada 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, dan dimakamkan di TMP Kalibata.

Berikutnya, orang yang berada di samping Sayuti Melik Adalah Burhanuddin Mohammad Diah.
Lahir di Banda Aceh 7 April 1917. Nama sebenarnya adalah Burhanuddin. Mohammad Diah adalah nama ayahnya. Pada usia 17 tahun, Beliau berangkat ke Jakarta dan menuntut ilmu di sekolah dirian Douwes  Dekker, Ksatriaan Instituut. BM Diah sebenarnya tidak mampu membayar uang untuk sekolah di sana, namun melihat tekadnya akhirnya Douwes Dekker mengizinkannya belajar di sana. Setelah tamat belajar, Beliau kembali ke Medan tempatnya belajar sebelum di Ksatriaan Instituut. Disana ia menjadi redaktur harian Sinar Deli. Setelah beberapa kali pindah pekerjaan, Beliau mendirikan usahanya sendiri yaitu Pertjatoeran Doenia. Setelah Jepang sampai di Indonesia, Beliau bekerja di Hosokyoku sebagai penyiar siaran Bahasa Inggris. Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah Burhanuddin bertemu dengan Herawati, seorang penyiar lulusan jurnalistik dan sosiologi di Amerika Serikat. Mereka berpacaran, dan tak lama kemudian, pada 18 Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini dihadiri pula oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Pada tahun 1959 Beliau menjabat sebagai dubes untuk Hongaria dan Cekoslowakia. Beliau meninggal di Jakarta 10 Juni 1996. 



Komentar

Postingan Populer