Utari Kusumawardhani - Diskusi dengan Laksamana Muda


Pada hari Minggu, 25 Februari 2018 penulis mengunjungi Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol No.1, Jakarta Pusat. Museum tersebut adalah tempat dikumpulkannya berbagai benda dan informasi bersejarah tentang peristiwa saat naskah proklamasi sedang dirumuskan. Dengan bangunan yang cukup besar dan harga tiket yang murah yakni Rp2.000,- kita dapat menjelajahi dan belajar banyak dari segala hal yang ada di dalam museum tersebut.

Museum Perumusan Naskah Proklamasi ini dibangun oleh arsitektur berkebangsaan Belanda bernama JFL Blankenberg pada tahun 1920-an. Tahun 1931, bangunan ini sempat dimiliki oleh PT Asuransi Jiwasraya, namun jatuh ke tangan British Konsul General ketika Perang Pasifik pecah. Selanjutnya bangunan ini pun dimiliki silih berganti oleh banyak pihak, hingga Jepang datang dan menduduki Hindia Belanda.

Pada saat masa kependudukan Jepang itu pun, bangunan ini digunakan sebagai tempat tinggal Laksamana Muda Maeda, kepala kantor perhubungan angkatan laut dan angkatan darat Jepang. Setelah Jepang kalah terhadap Sekutu, bangunan ini berfungsi sebagai markas tentara Inggris. Pada tahun 1982 akhirnya gedung ini menjadi kantor karyawan Perpustakaan Indonesia. Selang beberapa waktu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk menjadikan gedung tersebut sebagai museum warisan peninggalan sejarah; yang dinamakan Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Sebagai warga negara Indonesia, tentulah proklamasi merupakan kejadian yang sangat penting dalam sejarah kemerdekaan negara ini. Proklamasi adalah saat di mana Indonesia pada akhirnya bebas dari kekangan kolonialisme dan imperialisme yang telah berlangsung sejak sekian lama. Namun, perjuangan menuju proklamasi tersebut tidaklah mudah. Banyak peristiwa yang menghiasi perjalanan Indonesia dalam memerdekakan diri, khususnya proklamasi.

Dalam peristiwa proklamasi itu sendiri terdapat banyak detail-detail kejadian di dalamnya. Mulai dari menyerahnya Jepang terhadap Sekutu yang menyebabkan terjadinya status quo atau kekosongan kekuasaan di Indonesia. Seraya menunggu pihak Sekutu datang, Jepang diharuskan untuk menjaga keadaan Indonesia sebagaimana adanya tanpa perubahan apapun. Namun Indonesia sudah tidak bisa berdiam diri—setidaknya, kaum muda sudah tidak tahan menunggu tanpa ada gerakan. Mereka meminta golongan tua untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan, akan tetapi golongan tua bersikeras untuk menunggu Jepang menyerahkan kemerdekaan sesuai perjanjian dan sistem yang ada.

Melihat golongan tua yang tidak dapat diubah pendapatnya, kaum muda pun mengambil tindakan drastis—Ir. Soekarno dan Moh. Hatta dijemput dan mereka diungsikan ke Rengasdengklok agar bebas dari pengaruh Jepang. Setelah perundingan di Rengasdengklok dan kembali ke Jakarta, Achmad Soebardjo menelepon Hotel Des Indes tempat menginapnya anggota PPKI yang tadinya akan digunakan sebagai tempat pertemuan. Pihak hotel menolak mereka karena pemberlakuan jam malam. Mereka tidak menemukan tempat rapat yang memadai, sehingga akhirnya Achmad Soebardjo menelpon Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut Jepang Laksamana Muda Tadashi Maeda dan memintanya untuk mengizinkan mereka mengadakan rapat di rumahnya, beralamat di Meiji Dori Nomor 1.  Achmad Soebardjo mengusulkan rumah Maeda karena rumahnya merupakan teritori Angkatan Laut yang tidak bisa diganggu Angkatan Darat dan Polisi Jepang.

Mereka diterima pada jam 22.00. Pertemuan ini juga dihadiri oleh Nishijima (Asisten Maeda) dan Mijoshi (seorang diplomat karir kementerian Jepang). Setelah saling memberi hormat, Soekarno mengucapkan terima kasih atas kesediaan Maeda meminjamkan rumah kediamannya untuk rapat mempersiapkan Proklamasi. Nishijima dan Soebardjo kemudian masuk dan memberi tahu Maeda bahwa Soekarno-Hatta sebelumnya dibawa kelompok pemuda ke Rengasdengklok. Maeda tampak serius tetapi tenang saat mendengar kabar tersebut.

“Berjuang untuk kemerdekaan bisa saya hargai. Dan tidak saya duga dorongan di antara orang-orang Indonesia untuk itu demikian besar. Tetapi saya pasti tidak dapat menyetujui metode-metode revolusioner demikian itu,” kata Maeda kepada para pemuda.

Maeda mengatakan, kepergian Soekarno-Hatta dari Jakarta tanpa sepengetahuan penguasa militer Jepang merupakan kejadian serius. Seandainya mereka tidak kembali, Maeda mengatakan keamanan dan ketertiban dapat terganggu. Soekarno kemudian memutuskan untuk pergi ke tempat Gunseikan untuk mencari tahu pendirian mereka mengenai rencana kemerdekaan Indonesia. Ia beranggapan, paling tidak, Gunseikan dapat bersikap netral.

Kemudian Soekarno ditemani Maeda dan Miyoshi Sunkichiro (Juru bicara Angkatan Darat Jepang sekaligus penerjemah) berangkat ke Gunseikan. Mereka berusaha menemui Kepala Pemerintahan Militer Jepang Jenderal Moichiro Yamamoto dan Direktur Urusan Umum Pemerintahan Militer Jepang Jenderal Otoshi Nishimura. Yamamoto menolak menemui mereka dengan alasan telah larut malam, sedangkan Nishimura menjelaskan bahwa pihak Jepang tidak dapat membantu, karena telah ada kesepakatan dengan pihak Sekutu mengenai status quo. Ia juga melarang adanya rapat yang akan dilangsungkan di rumah Maeda, serta melarang pihak Indonesia untuk melaksanakan proklamasi. Soekarno pun melayangkan protes, karena Jepang telah melanggar janjinya untuk memberikan kemerdekaan pada Indonesia.

Soekarno, Hatta dan Achmad Soebardjo tiba kembali di rumah Maeda sekitar pukul 02.30 WIB. Di ruangan rapat, Soekarno, Hatta, Miyoshi dan Maeda melangsungkan pembicaraan serius. Para pemimpin bangsa Indonesia telah menyatakan bangsa Indonesia menolak dijadikan "barang inventaris" yang harus diserahkan Jepang kepada Sekutu. Mereka menjelaskan kepada Maeda bahwa mereka akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sekarang juga. Maeda tidak ikut campur dan memutuskan untuk mengundurkan diri ke kamarnya dan tidur di lantai atas.

Gambar: Furnitur ruang rapat dengan Maeda
Rapat pun dilaksanakan di rumah Maeda. Di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, tidak hanya berlangsungnya rapat yang diceritakan, namun juga suasana dan tampak ruang untuk rapat di rumah Maeda saat itu. Menurut B. M. Diah, ruang ini dipenuhi dengan kursi yang empuk. Sedangkan menurut Nyonya Satzuki Mishima, ruangan ini digunakan Maeda sebagai kantor dan ruang tamu khusus, yang di dalamya terhadap kursi tamu yang terdiri dari satu meja, satu sofa dan dua kursi yang terbuat dari besi tipis chroom nikel dengan alas duduk yang dilapisi dengan kulit berwarna cokelat tua. Meja berbentuk empat persegi panjang dan kursi diletakkan di dekat jendela. Antara pintu dan ruang pra-perumusan dengan ruang perumusan diletakkan lemari buku yang berpintu kaca; terbuat dari kayu dengan warna cokelat tua pula. Sedangkan dinding yang dibelakangi meja tulis dihiasi dengan dua buah lukisan cat minyak bergambar pemandangan di sawah yang berlatar belakang gunung.

Tentang Maeda—menurut sejarawan Belanda H.J. De Graaf—ia adalah seorang perwira Angkatan Laut yang karena lebih banyak melihat dunia dalam tugasnya, ia berwawasan lebih luas, dan lebih terang pandangannya terhadap situasi yang sebenarnya daripada perwira-perwira Angkatan Darat.

Sayuti Melik juga penasaran dengan sikap Laksamana Muda Maeda. Sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang telah melalui banyak hal, ia tak percaya akan sikap baik perwira tinggi yang dengan mudahnya mempersilakan mereka menggunakan rumahnya itu. Ia pun mencari motifnya. Motif yang ia peroleh dari Maeda begitu bersifat manusiawi, sehingga ia dapat menerimanya—yakni, menurut Sayuti—Maeda percaya, setelah Jepang takluk, tamatlah riwayat negara dan dirinya. Berakhirlah hidupnya. Ia membantu kemerdekaan bangsa Indonesia atau tidak, kisahnya akan berakhir sama saja. Daripada pergi tanpa meninggalkan jasa, lebih baik pergi dengan meninggalkan nama. Kenangan baik itu ialah sikapnya yang bersimpati dan bersedia membantu proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, Soekarno masih sempat berhubungan baik dengan Maeda. Mereka saling mengunjungi satu sama lain. Sayang, setelah pulang ke Tokyo pada 1947, Maeda diseret ke Mahkamah Militer Jepang dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan telah berkhianat karena membantu persiapan kemerdekaan Indonesia. Sejak saat itu, karier militer Maeda berakhir dan hidup sebagai rakyat biasa. Namun setelah itu ia sempat berkunjung ke Jakarta untuk menjenguk Soekarno, dan saat Maeda sakit pada umur 70 tahun, Soekarno juga menjenguknya ke Tokyo. Maeda dipandang Soekarno sebagai seseorang yang berpandangan luas, idealis, dan taat beragama.

Atas jasa-jasanya, pada 1973 Maeda diundang pemerintah Indonesia untuk menghadiri perayaan Proklamasi 17 Agustus. Dalam kesempatan itu ia sempat bertemu dengan Mohammad Hatta. Maeda juga merupakan penerima Bintang Jasa Nararya dari pemerintah Indonesia.

Proklamasi Kemerdekaan memang dilakukan melalui jalan yang simpang-siur tanpa unsur kemudahan. Perjuangan selama beratus-ratus tahun, melawan lebih dari satu negara yang menduduki wilayah Indonesia, bukanlah hal yang bisa diremehkan. Namun kemerdekaan Indonesia merupakan hasil kontribusi berbagai pihak—baik itu dari warga Indonesia sendiri maupun orang asing seperti Maeda. Banyak hal yang dapat terjadi jika keputusan yang diambil lain—misal Soekarno memutuskan untuk menunggu kepastian dari Jepang lagi, atau Maeda tidak mengizinkan rumahnya menjadi tempat untuk rapat. Namun keputusan yang telah diambil membentuk segala kejadian yang mengerucut ke proklamasi. Di antara kejadian tersebut, tentunya, adalah diskusi di rumah Maeda yang memastikan sikap Indonesia terhadap Jepang dan kepastian perihal kemerdekaan. Maka dari itu, walaupun pembicaraan dengan Maeda adalah sesuatu yang tidak terlalu ditonjolkan, hal ini akan terus menjadi poin penting dalam aliran peristiwa kemerdekaan Indonesia. Dan kita, sebagai orang Indonesia yang menikmati kemerdekaan, harus menghargai peristiwa tersebut.

Sekian cerita dari penulis mengenai kunjungan ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Semoga dengan artikel ini, pembaca mendapat pengetahuan lebih mengenai salah satu rangkaian kejadian menuju proklamasi dan bisa mengambil hikmah darinya, ya.

Komentar

Postingan Populer