Asoka Dewati Widyanto - Kembali ke Masa Proklamasi


Pada kesempatan kali ini, saya akan berbagi cerita pengalaman saya saat mengunjungi Museum Perumusan Naskah Proklamasi dalam rangka melakukan tugas pelajaran Sejarah Indonesia. Saya mengunjungi Museum Perumusan Naskah Proklamasi ini pada hari Minggu, 25 Februari 2018. Saya pergi ke museum ini bersama teman-teman saya. Museum Perumusan Naskah Proklamasi ini juga biasa dikenal sebagai Munasprok. Museum ini berada di Jalan Imam Bonjol No 1, Menteng, Jakarta Pusat. Letak museum berada di dekat Taman Suropati dan juga tempatnya mengarah ke arah Bundaran HI. Sekarang, museum ini berada di antara Kedutaan Besar Saudi Arabia dan Gereja Santo Paulus. Munasprok buka setiap Selasa-Minggu. Pada hari Selasa-Kamis, museum ini buka pada pukul 08.00 sampai 16.00. Pada hari Jumat museum ini buka pada pukul 08.00-11.30 kemudian buka lagi pada pukul 13.00 sampai 16.30. Sedangkan untuk libur akhir pekan (Sabtu dan Minggu) museum ini buka pada pukul 08.00 sampai 16.00 Pada hari Senin dan hari libur nasional, museum ini tutup. Akses ke museum ini juga bisa dijangkau dengan menggunakan kendaraan umum antara lain: Trans Jakarta Pulo Gadung-Grogol, Trans Jakarta Kampung Melayu- Grogol serta Bus PPD 213 Kampung Melayu-Grogol. Seluruh jurusan turun di halte Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Untuk memasuki Munasprok harus membayar uang sebesar Rp. 2,000 untuk dewasa dan Rp. 1,000 untuk anak-anak.

Sejarah singkat dari gedung museum ini, gedung ini didirikan sekitar tahun 1920 dan dirancang oleh J.F.L. Blankenberg, seorang arsitek Belanda. Gedung ini memiliki gaya Art Deco, atau gaya arsitektur Eropa dan memiliki luas tanah sekitar 3.914-meter persegi. Sebelum masa pendudukan Jepang, gedung ini dimiliki oleh PT. Asuransi Jiwasraya dan dipakai sebagai gedung British Consul General sampai Jepang datang ke Indonesia. Ketika masa ini, gedung ini digunakan sebagai rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, seorang kepala kantor penghubung antara Angkatan Laut dengan Angkatan Darat Jepang. Setelah Indonesia merdeka, bangunan ini menjadi markas tentara Inggris sampai akhirnya diserahkan ke pemerintah Indonesia. Selanjutnya gedung ini juga sempat digunakan sebagai Kedutaan Besar Inggris dan Perkantoran Perpustakaan Nasional pada tahun 1961 dan 1981. Pada tahun 1984, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Nugroho Notosusanto menyadari pentingnya gedung ini terhadap bangsa Indonesia dan menginstruksikan Direktorat Permuseuman untuk menjadikan gedung tersebut menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Kemudian museum ini diresmikan menjadi sebuah museum pada tahun 1992 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayan No. 0476/1992 tanggal 24 November 1992. Sekarang Museum Perumusan Naskah Proklamasi ini berada di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 46 tahun 2012 tanggal 20 Juli 2012
Gedung ini menjadi suatu tempat yang bersejarah karena disini lah terjadi peristiwa penting yang mengubah nasib bangsa Indonesia selamanya. Saat gedung ini menjadi rumah Laksamana Maeda, rumahnya dijadikan tempat untuk merumuskan naskah proklamasi yang dibacakan pada tanggal 17 Agustus. Sejarahnya, terjadilah peristiwa Rengasdengklok dimana Soekarno dan Hatta dibawa oleh para pemuda menuju Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus

Latar belakangnya peristiwa ini adalah para golongan muda yang mendengar berita bahwa Jepang telah menyerah ke sekutu melalui siaran radio dan golongan tua yang tidak melakukan apa-apa dalam masa vacuum of power (kekosongan penguasa) ini. Golongan tua dan golongan muda ini mengalami perbedaan pendapat. Golongan tua ingin melakukan proklamasi sesuai dengan janji Jepang pada tanggal 24 Agustus 1945 dan tidak ingin melanggarnya karena pengaruh kekuatan militer Jepang masih kuat di Indonesia. Sedangkan golongan muda menganggap bahwa golongan tua terlalu lamban bereaksi atas kekalahan Jepang dan terlalu kooperatif (nurut) dengan Jepang. Mereka juga menganggap bahwa proklamasi merupakan hak Indonesia, tidak harus ada campur tangan negara lain.

Menjelang 16 Agustus, golongan muda mengadakan rapat yang dipimpin Chairul Saleh dimana mereka memutuskan untuk mendesak Soekarno dan Hatta dengan mengamankannya ke luar Jakarta. Tujuan Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok adalah untuk meyakinkan kedua tokoh tersebut bahwa Jepang telah menyerah dan mereka siap untuk merdeka dan tidak harus mendengar lagi perkataan Jepang. Selain itu juga agar mereka terlepas dari pengaruh Jepang sehingga berani untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Alasan golongan muda memilih Rengasdengklok karena perhitungan milliter. Rengasdengklok tempatnya 15 km dari Jalan Raya Jakarta-Cirebon. Juga, Daidan(Batalyon) PETA Jakarta dan Rengasdengklok sering melakukan latihan bersama sehingga jika ada gerakan pasukan Jepang ke arah Rengasdengklok orang-orang langsung pada tahu.  

Pada tanggal 16 Agustus, Soekarno dan Hatta dibawa oleh Shadanco Singgih ke asrama PETA. Sedangkan di Jakarta terjadilah rapat PPKI dimana kedua tokoh tersebut tidak muncul dan mulai mempertanyakan keberadaan mereka. Ahmad Soebarjo yang mendengar berita Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok langsung beranjak ke sana. Beliau memberi janji kepada pemuda bahwa kemerdekaan akan dilakukan besoknya, tanggal 17 Agustus dan berhasil meyakinkan Soekarno-Hatta bahwa Jepang sudah mengalah. Akhirnya, Ahmad Soebarjo, Soekarno, Hatta dan golongan pemuda berangkat ke Jakarta dan sampai jam 10 malam. Awalnya ingin rapat merumuskan proklamasi di Hotel Des Indies namun tidak diperbolehkan dan meminta izin ke Laksamana Maeda untuk menggunakan rumahnya. Laksamana Maeda mengizinkan menggunakan rumahnya sebagai tempat rapat namun ia tidak terlibat sama sekali dalam pembuatan naskah.

Di dalam kediaman Laksamana Maeda, terdapat empat tempat bersejarah dalam perumusan naskah proklamasi. Namun, menurut saya ruangan yang paling penting dalam perjalanan sejarah ini adalah ruang terakhir, yakni Ruang Pengesahan Rumusan Naskah Proklamasi. Dalam kesehariannya, Laksamana Maeda biasanya menggunakan ruangan ini sebagai ruang rapat sekaligus penerima tamu dengan jumlah yang banyak. Ditengah ruangannya diletakan dua buah meja persegi panjang yang dilengkapi dengan 12 buah kursi tanpa sandaran tangan. Di bagian tengah ruangan terdapat dua lampu kristal kecil. Disamping itu, dekat dinding sebelah belakang ruangan, ada seperangkat meja tamu terdiri dari satu sofa, kursi dan juga meja panjang. Ruangan ini juga terdapat tangga yang menuju ke lantai atas. Dibawah tangga, diletakkan piano besar.

Di Ruang Pengesahan ini, Soekarno membawa naskah proklamasi ke serambi muka dan membacakan konsep perumusan kemerdekaan yang telah dibuat oleh beliau, Hatta dan Ahmad Subardjo. Naskah proklamasi dibacakan secara perlahan-lahan dan berulang-ulang. Kemudian, beliau menanyakan kepada para hadirin rapat apakah mereka setuju atau tidak dengan naskah proklamasinya. Rumusan tersebut disetujui oleh para hadirin rapat yang datang, kurang lebih berjumlah 40-50 orang. Kemudian sempat timbul pertentangan mengenai siapa yang harus menandatangani naskah tersebut. Soekarno mengusulkan bahwa semua orang yang hadir pada rapat tersebut menandatangani proklamasi tersebut seperti Declaration of Independence milik Amerika Serikat namun semua orang tidak setuju. Akhrinya, Sukarni mengusulkan bahwa yang paling berhak untuk menandatangani proklamasi tersebut adalah Soekarno dan Hatta atas nama Indonesia karena kedua tokoh tersebut telah dianggap sebagai pemimpin utama rakyat Indonesia. Setelah persetujuan tersebut, kemudian naskah proklamasi dibawa ke ruangan samping dan diketik oleh Sayuti Melik ditemani dengan B.M. Diah. Setelah diketik, kemudian naskah tersebut ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta diatas piano milik Laksamana Maeda. Peristiwa ini berlangsung menjelang subuh pada hari Jumat 17 Agustus 1945 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.

Di dalam rapat tersebut, dihadiri oleh beberapa tokoh penting selain Soekarno dan Hatta. Tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Ahmad Soebardjo, Mohammad Amir, Sukarni, BM Diah, Chaerul Salah, Oto Iskandar Di Nata, Ki Hadjar Dewantara (Suwardi Suryaningrat), Iwa Kusumasumantri, Abikoesno Tjokrosoejoso, Radjiman Wediodiningrat, Soepomo, Sam Ratulangi, Soetardjo Kartohadikusumo, Burhanuddin Moehammad Diah, Anang Abdoel Hamidhan, Andi Pangerang, Mbah Soediro, Samaun Bakry, Johanes Latoeharhary dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya.

Menurut saya di ruang pengesahan ini terdapat satu barang yang menarik yakni meja yang berada di tengah ruangan tersebut. Meja tersebut merupakan meja persegi panjang yang masing-masing dilengkapi dengan dua belas kursi yang diberi politur berwarna coklat tua. Dua belas kursi tersebut merupakan kursi tanpa sandaran tangan. Alas duduk dan sandarannya juga dilapisi dengan kulit berwarna coklat tua. Meja ini biasa digunakan oleh Laksamana Maeda sebagai tempat rapat dan juga untuk menerima tamu yang banyak seperti yang sudah dijelaskan di atas tadi. Namun yang menarik adalah ternyata meja tersebut ternyata merupakan replika. Walaupun bangunan dan ruangan di dalamnya masih terawatt dengan baik, sayangnya, seluruh furniture yang digunakan di dalam museum tersebut bukan lagi barang-barang asli yang digunakan sama seperti pada saat masa kemerdekaan. Bukan hanya meja yang di dalam ruang pengesahan, tetapi hampir semua barang seperti bangku, piano, rak loker, ruang rapat, meja tamu dan juga kursi tamu semuanya merupakan replika. Hal ini terjadi karena ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, isi rumah Laksamana maeda banyak yang dijarah termasuk bukti sejarahnya namun tata letaknya tetap dipertahankan.

Setelah berkeliling ke ruangan-ruangan lainnya di dalam Museum Perumusan Naskah Proklamasi, saya akhirnya pun pulang, mengakhiri perjalanan saya dalam pembelajaran sejarah ini. Banyak hal yang dapat dipelajari dari museum. Saya mendapatkan berbagai pelajaran baru tentang sejarah kemerdekaan Indonesia yang tentunya akan saya selalu ingat sampai di masa depan nanti.









Komentar

Postingan Populer