Keisha Karinna Avioza - Mengenal Roket SPG 82 yang Digunakan Pada PAPERA
Pada kesempatan
kali ini tepatnya pada hari Minggu 25 Februari 2018, saya bersama temen sekelas saya yaitu Ayya,
Mia, Rania, dan Azya berkesempatan untuk pergi mengunjungi sebuah museum di
kawasan Jakrta Selatan yaitu Museum Kepolisian Negara Indonesia (POLRI). Kami memilih untuk mengunjungi Museum Polri ini
karena letaknya yang tidak jauh dari
sekolah kami, yaitu Museum Polri ini terletak di Jalan Trunojoyo No.3, RT.5/RW.2, Selong, Kebayoran baru, Jakarta
Selatan. Tujuan utama kami mengunjungi museum kali ini adalah untuk memenuhi
salah satu tugas dari pelajaran Sejarah Indonesia dan untuk mengetahaui lebih
jauh mengenai Kepolisian Republik Indonesia. Kunjungan ke Museum Polri ini
merupakan kunjungan pertama bagi saya.
Sebelum pergi ke Museum Polri ini kami pun berkumpul
terlebih dahulu di dekat sekolah, setelah itu kami berangkat bersama-sama
menuju Museum Polri tersebut. Saat kami tiba, museum ini baru saja buka, kami
pun menjadi pengunjung pertama pada hari itu. Museum Kepolisian Negara Republik
Indonesia ini atau yang lebih dikenal dengan Museum Polri, merupakan sebuah museum
semi modern yang dimiliki oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini. Bedasarkan
sejarah Museum Polri ini, ide pembangunan Museum Polri ini dicetuskan oleh
Kapolri Jendral Polisi Bambang Hendarso Danuri dengan tujuan melestarikan
nilai-nilai kesejarahan Kepolisian Republik Indonesia dan pewarisannya kepada
generasi mendatang.
Polisi Indonesia adalah polisi pejuang sejak
dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan RI. Deklarasi Polisi Istimewa di Surabaya
tak lama setelah proklamasi kemerdekaan dilanjutkan dengan konsolidasi
organisasi kepolisian yang bersifat nasional pada 1 Juli 1946 oleh Kepala
Kepolisian Negara Jenderal Polisi R.S. Soekanto menjadi dasar keunikan sejarah
Kepolisian Negara Republik Indonesia dibanding institusi kepolisian
negara-negara lain.
Museum Polri
ini pun akhirnya diresmikan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY)
pada tanggal 1 Juli 2009, yang tepatnya diresmikan pada hari ulang tahun
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ke 63. Museum
ini terbuka untuk umum mulai dari hari selasa sampai dengan minggu
Museum Polri
ini pun terdiri dari tiga lantai. Tiap-tiap lantainya pun memiliki berbagai
objek dan tataan yang berbeda, seperti di lantai pertama ini terdapat ruangan
yang berisi koleksi dan peristiwa, ruangan ini terdiri dari berbagai koleksi
peralatan utama dan alat bantu Kepolisian Republik Indonesia dalam menjalankan
tugasnya. Senjata-senjata yang terdapat di lantai ini pun ternyata masih ada
yang aktif sehingga ketika senjata-senjata tersebut tidak boleh kami sentuh dan
diberi garis pembatas. Selain itu, di lantai ini juga terdapat beberapa gambar dan patung-patung tokokh kepolisian dan
lainnya.
Kami pun
beranjak pergi menuju lantai dua, di lantai ini kami melihat berbagai macam
objek seperti seragam bhayangkari, dilantai ini juga terdapat berbagai mesin
sidik jari (ex. Laser Photonica
Fingerfinder) , sebuah kit pembunuhan, dan di lantai ini juga terdapat Kids
Corner dan lainnya.
Kami pun
berlanjut ke lantai 3, di lantai ini terdapat mini teater, seragam-seragam
polisi dan TNI, terdapat pula beberapa serpihan bom bahkan ada juga perangkat
bomnya.
Dari sekian
banyak objek yang saya dan teman-teman saya lihat, saya tertarik untuk membahas
mengenai salah satu kumpulan senjata dan roket yang berada di Museum Polri ini
yaitu“ Roket SPG 82”. Roket SPG-82 atau dalam bahasa Rusiannya adalah Stankovyi
Protivotankovyi Granatomet –
(heavy antitank grenade launcher) ini
mmerupakan sebuah peluncur roket antitank berdoda yang di buat oleh Uni Soviet
dan mulai beroprasi setelah berakhirnya Perang Dunia ke II. Setelah itu pada
tahun 1954, Uni Soviet mengganti senjata mereka ini menjadi senapan B-10
Recoilles. Tetapi Roket SPG-82 ini tetap beroperasi di beberapa kemiliter,
terutama di Timur Tengah hingga tahun 1970-an dan juga di bawa oleh Brigade
Mobil Polisi Indonesia (BRIMOB) pada tahun 1960-an.
Senjata ini
terdiri dari sebuah tabung laras panjang dengan moncong yang berkobar, didukung
oleh sebuah kereta sederhana dengan dua roda padat kecil. Terdapat pula sebuah
pad bahu yang melengkung dan melekat pada sisi kiri laras, dan sebuah
perisai besar yang dipasang untuk melindungi para kru dari ledakan belakang
yang dihasilkan oleh proyektil roket. Perisai yang tidak cukup tebal untuk
memberikan perlindungan dari tembakan musuh. Senjata ini biasanya ditembakkan
dari kereta, tetapi dapat juga diturunkan serta dipukuli oleh dua orang yang
bekerja bersama untuk mendukung senjata.
Senjata ini
pun menembakkan dua jenis proyektil,
yaitu sebuah putaran eksplosif atau fragmentasi tujuan umum, OG-82, dan armor
anti-tank yang menusuk, PG-82. Senjata ini memiliki dua set pemandangan besi
yang sesuai dengan dua putaran berbeda yang ditembakkan oleh senjata.
Penglihatan HE lulus ke 700 meter sementara jarak efektif senjata untuk putaran
HEAT sekitar 200 meter.
Senjata
Roket SPG 82 dengan no GA 143 pun pernah digunakan oleh Resimen II Brimob Jawa
Barat pada saat operasi pengamanan
Penentuan Pendapat Rakyat (PAPERA) pada tahun 1963. Penentuan Pendapat Rakyat
ini merupakan sebuah referendum yang diadakan pada tahun 1963 di Papua Barat
yang dilakukan untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara
milik Belanda atau Indonesia. Pemilihan suara ini menanyakan apakah sisa populasi
mau bergabung dengan Republik Indonesia atau lebih memilih untuk merdeka. Para wakil yang dipilih dari populasi dengan
suara bulat memilih persatuan dengan Indonesia dan hasilnya diterima oleh PBB,
meskipun validitas suara telah ditantang dalam retrospeksi.
PAPERA
ini pun sebagai
tindak lanjut dari Persetujuan New York,
Irian Barat yang secara resmi masuk ke wilayah Republik Indonesia pada tanggal
1 Mei 1963. Serah terima dari UNTEA kepada Republik
Indonesia dilakukan di Kota Baru (Holandia). Pada masa transisi tersebut di
Irian Barat dibentuk sebuah pasukan keamanan PBB dengan nama United Nations
Security Force (UNSF) yang dipimpin oleh Brigjen Said Uddin Khan dari Pakistan.
Selanjutnya pada tahun 1969 segera diselenggarakan “act of
choice” atau yang lebih dikenal dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Tahap
pertama adalah dengan dimulai pada tanggal
24 Maret 1969 berupa konsultasi dengan dewan-dewan kabupaten di Jayapura dan
mengenai tata cara penyelenggaraan Pepera.
2. Taahap
kedua, segera dilaksanakannya pemilihan anggota Dewan Musyawarah Pepera yang
berakhir pada bulan Juni 1969. Dalam tahapan ini berhasil dipilih 1.026 anggota
dari delapan kabupaten yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita.
3. Tahap
ketiga adalah berupa Pepera itu sendiri dilakukan di tiap-tiap kabupaten,
dimulai tanggal 14 Juli 1969 di Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus
1969 di Jayapura.
Pelaksanaan
Pepera dalam setiap tahapan disaksikan oleh utusan Sekretaris Jenderal PBB duta
besar Ortis Sanz, sedangkan sidang-sidang Dewan Musyawarah Pepera dihadiri oleh
para duta besar asing di Jakarta, antara lain duta besar Belanda dan Australia.
Rakyat Irian Barat sadar bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia,
mereka tidak mau dipisahkan dengan saudara-saudaranya, sehingga Dewan
Musyawarah Pepera dengan suara bulat memutuskan bahwa Irian Barat tetap
merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil Pepera dibawa
ke New York oleh duta besar Ortis Sanz untuk dilaporkan dalam sidang umum PBB
ke-24 pada bulan 19 November 1969 yang akhirnya sidang tersebut menerima
hasil-hasil Pepera sesuai dengan jiwa dan isi Persetujuan New York.
Namun Setelah
Kejatuhan Soeharto tahun 1998, Uskup Agung Desmond Tutu aktivis Hak Asasi
Manusia dan beberapa anggota
parlemen Amerika dan Eropa lainnya meminta Sekretaris PBB Kofi Annan untuk
meninjau peran PBB dalam pemungutan suara.
Ada ura-ura yang telah memanggil PBB untuk melakukan referendum
sendiri, dengan semua suara pemilih dan kritik mengatakan Perjanjian New York
adalah sah biarpun tidak dilibatkan masyarakat asli Papua tetapi Penentuan
Pendapat Rakyat tidak memenuhi Kriteria atau tidak sesuai dengan praktik Hukum Internasional, Hak Asasi
Manusia, dan Demokrasi yaitu dengan cara "One Man One Vote"
satu orang satu suara, tetapi dilakukan menurut kebiasaan Indonesia dengan
"Musyawarah" banyak orang satu suara. Para peserta Penentuan Pendapat
Rakyat dipilih dan memilih oleh Indonesia sendiri, malah para peserta diteror
dan diintimidasi dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat 1969.
Serta
para peserta itu diintimidasi dan teror
oleh Militan dan Militer TRIKORA Indonesia yang dikomandoankan oleh Soeharto
1963 setelah setahun mendeklarasikan kemerdekaan negara West Papua pada tanggal 1 Desember 1962. Trikora yang
dikomandoankan untuk membubarkan negara baru West Papua yang terbentuk itu dan
mensukseskan penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dengan pengkondisian yaitu
menghabiskan Organisasi Papua Merdeka yang mendirikan negara West Papua yang lengkap dengan atribut negara.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Roket SPG-82 ini merupakan sebuah
roket anti-tenk yang pernah digunakan di Indonesia pada tahun 1963 di pengamanan
Penentuan Pendapat Rakyat (PAPERA) yang
terjadi di Papua Barat. Sebenarnya masih banyak objek-objek yang saya ingin
untuk ceritakan namun karena hanya boleh memilih satu saja Jadi saya hanya
menceritakan mengenai senjata SPG 82 ini berserta dengan peristiwa ketika
senjata ini digunakan.
Setelah
pergi mengunjungi Musuem Polri ini saya cukup mendapat berbagai macam wawasan
baru dan tentunya pengalaman baru yang tidak akan saya lupakan, semoga nantinya
saya dan teman-teman saya yang lainnya dapat mengunjungi museum ini lagi atau
bahkan mengunjungi museum-museum lainnya agar kita dapat terus menambah wawasan
kita serta menambah pengalaman kita.
Sekian dari saya terimakasih sudah membaca carita saya ini.
Komentar
Posting Komentar